Sabtu, 20 Juli 2019

Menjelajahi Dieng, si Negeri di Atas Awan


Wak! Gak kerasa udah 2 tahun gak nulis blog sampe usang dan berdebu :’)

Dear stalker-stalkerku.. Kali ini aku mau nulis pengalaman jalan2 aku ke salah satu destinasi yang masuk dalam list ‘aku harus banget ke sini’, yaitu Dieng si Negeri di Atas Awan. Kenapa? Ya pengen aja sih :p

Sabtu, 29 Juni 2019
Untuk perjalanan kali ini aku ditemani oleh sebagian sobat2 sepedaku  ‘Semarang Velogirls’ yaitu Tami, Kak Ranz, dan Miss Nana. Dua personil yang lain, Avit dan Mbak Hesti, tidak ikut karena mereka sudah duluan ke sana beberapa waktu yang lalu. Nah ternyata putri Miss Nana, yaitu Mbak Angie, plus temannya bernama Mbak Fitri memutuskan ikut juga sehingga total personil yang ikut adalah 6 orang. Oh ya, untuk wisata ini kami memutuskan untuk ber-backpacking- ria (not bikepacking) karena faktor diriku yang manja dan pemalas ini membuat staminaku sudah tidak sestrong dulu lagi (padahal dulu juga gak strong2 amat sih haha).

Hari ini kami janjian untuk bertemu di tempat pemberhentian bus Sukun Banyumanik pukul 07.00. Well, sebagai penggagas malah aku dan Tami yang ngaret tiba di sana pukul 07.30 sedangkan  yang lain tepat waktu, ehe. Setelah kami semua berkumpul di Sukun dan menitipkan motor di sana, kami pun memutuskan untuk naik mobil shuttle saja ke Wonosobo daripada bus dengan pertimbangan lebih nyaman dan cepat. Shuttle pun berangkat pukul 08.00 (tarif shuttle dari Semarang – Wonosobo = Rp60.000,00).
Siap berangkat!
Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam kami sampai di Wonosobo. Biasanya orang-orang yang akan ke Dieng turun di Terminal Mendolo Wonosobo untuk melanjutkan perjalanan menggunakan mikrobus. Tetapi sopir shuttle yang mengetahui kami akan ke Dieng terus mengantarkan kami sampai di tengah perjalanan menemukan mikrobus agar tidak menunggu ngetem. Setelah bertemu mikrobus, kami pun berpindah armada. Perjalanan menggunakan mikrobus dari Wonosobo-Dieng membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam (tarif mikrobus Wonosobo-Dieng = Rp20.000,00).

Penampakan si mikrobus jurusan Dieng
Sekitar pukul 13.30 tibalah kami tepat di depan penginapan yang sudah kami booking sebelumnya, yaitu Losmen Bu Djono. Tak dinyana ternyata kami harus berpisah rumah karena di sana sudah full booked, 2 kamar tetap disitu sedangkan 1 kamar berada di homestay lain. Kok bisa? Jadi penginapan  di sana itu sistemnya saling berjejaring, apabila di sana sudah full maka akan dilimpahkan ke penginapan lain. Karena kami tidak ingin dipisahkan (ceilah), maka kami memutuskan untuk pindah semua ke homestay satunya yang bernama “Homestay Pratama”. Nah Homestay Pratama ini recommended banget guys, karena kita dijamu dengan super ramah dan kamarnya pun nyaman. Tapi berhubung kami mendapatkan homestay tersebut melalui Losmen Bu Djono, harga yang harus kami bayarkan lebih mahal yaitu Rp300.000,00 sekamar dengan satu kamarnya diisi 3 orang. Sebenarnya saat booking lewat WA harga sekamarnya Rp250.000,00 tapi nyatanya saat ditariki oleh orang Losmen Bu Djono malah jadi 300 ribu. Mungkin gara-gara sekamarnya dihuni 3 orang, entahlah. Yang pasti Bu Tatik, pengurus Homestay Pratama, menyayangkan kenapa kita ditarik semahal itu padahal beliau paling hanya mendapat uang 100 ribu per kamarnya. Jadi buat kalian-kalian yang tertarik menginap di Homestay Pratama ini bisa langsung menghubungi Bu Tatik saja dengan nomor WA  081391420132 untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Kalau langsung lewat beliau sekamarnya hanya Rp200.000,00 untuk yang kamar mandi dalam. Melalui Bu Tatik kami pun menyewa tiga motor untuk jalan-jalan hari ini dengan tarif sewa masing-masing motor Rp100.000,00 (dan besoknya masih boleh dipinjam lagi tanpa biaya tambahan). Sore ini kami memutuskan untuk mengunjungi dua tempat wisata, yaitu Telaga Warna dan Kawah Sikidang.
Di homestay, langsung disambut teh hangat lengkap dengan camilan2
Tampak depan Homestay Pratama
Suasana kamar homestay

Kami pun mengunjungi destinasi pertama yaitu Telaga Warna sekitar pukul 15.00. Tarif kesini adalah Rp15.000,00 per orangnya. Ohya, sebelumnya kami ditarik juga tiket masuk kawasan sebesar Rp10.000,00. Telaga Warna ini merupakan telaga yang unik karena warnanya bisa berubah-ubah akibat kandungan sulfur di dalamnya. Kebetulan saat kami di sini warna telaganya adalah hijau tosca. Di samping Telaga Warna, masih dalam satu kawasan, terdapat juga telaga lain bernama Telaga Pengilon. Jadi dua danau itu letaknya saling berdampingan.

Denah kawasan Telaga Warna dan Pengilon
Di Telaga Warna
Tersedia jasa foto langsung jadi, cukup 5000 rupiah per lembar


Puas berkeliling kami pun menuju destinasi selanjutnya yaitu Kawah Sikidang. Dinamakan demikian karena kawah tersebut sering berpindah-pindah atau melompat-lompat seperti kidang/kijang. Apabila kalian mau ke sini, sangat disarankan untuk memakai masker karena bau belerangnya sangat menyengat. Tapi kalau lupa membawa tak usah khawatir, cukup banyak penjual masker bertebaran di sekitar kawasan. Oh ya, tiket masuk kawasan Kawah Sikidang ini adalah Rp15.000,00 termasuk juga tiket ke Candi Arjuna. Jadi kalau kalian mau ke Candi Arjuna tinggal nunjukin tiket ini saja, tidak usah beli tiket lagi meski berkunjung di beda hari.


Kawah Sikidang
Hari mulai menggelap dan adzan maghrib pun sayup-sayup mulai terdengar. Itu tandanya kami harus segera pulang kembali ke homestay. Sebelumnya kami menyempatkan makan dahulu di salah satu rumah makan di dekat homestay karena perut mulai menyenandungkan keroncong, maklum tadi siang tidak sempat makan. Kali ini aku mencoba salah satu makanan khas Wonosobo, yaitu mie ongklok. Ciri khas dari mie ongklok ini adalah kuahnya yang kental dan biasanya disajikan dengan sate ayam/sapi. Tetapi karena kami membeli di tempat makan biasa jadi rasa dari mie ongklok itu menurutku yaaa so so lah, biasa saja. 
Mie ongklok
Setelah tiba di homestay dan membersihkan diri aku, Tami, dan Kak Ranz memutuskan untuk jalan-jalan lagi sekadar beli minuman hangat dan jajanan. Sebenarnya pengen beli di Indomaret yang dekat dengan homestay kami, eeh ternyata mesin kopinya rusak dan antrian di kasirnya lumayan panjang (fyi sampai saat tulisan ini ditulis masih hanya ada satu indomaret di Dieng, jadi maklum saja sangat ramai). Kami pun memutuskan untuk berjalan lebih jauh lagi sampai akhirnya menemukan sebuah kafe. Kami bertiga lalu sama-sama membeli cappucino hangat dan cemilan untuk menghangatkan diri. Setelah tandas, kami pun pulang kembali ke homestay untuk beristirahat.
Foto di ikon tulisan Dieng pas perjalanan mencari kafe
Cappucino yang tengah gambarnya abstrak haha
Suasana di dalam kafe

Minggu, 30 Juni 2019
Sedari subuh kami sudah bersiap untuk jalan-jalan karena pagi ini kami berencana akan melihat 'bun upas' atau embun salju. Bun upas ini dapat dinikmati pada masa puncak kemarau, biasanya sekitar bulan Juli-Agustus , dan paling banyak ditemukan di perkebunan kentang dan kawasan Candi Arjuna. Rencana awal kami untuk melihat golden sunrise di Sikunir pun kami batalkan demi melihat fenomena yang cukup langka ini. Sekitar pukul 05.30 berangkatlah kami semua menuju Candi Arjuna dengan berjalan kaki mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan homestay dan takut terjebak macet jika memakai kendaraan. Sesampainya di sana kami dibuat takjub dengan hamparan rumput berwarna keputihan yang tertutup 'salju', maklum orang Semarang yang kebiasa panas mulu. Oh ya sedikit saran saja, kalau ingin menikmati bun upas disarankan memakai sepatu ya karena pengalamanku memakai sandal membuat kakiku seakan mati rasa saking dinginnya meski telah memakai kaos kaki. 

Bun upas
Candi Arjuna
Setelah puas berfoto-foto ria di kawasan Candi Arjuna kami kembali lagi ke homestay untuk mengambil motor demi melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yaitu Bukit Ratapan Angin. Ternyata perjalanan menuju kesana sangat sangat macet, Dieng luar biasa penuh ternyata. Butuh kesabaran ekstra untuk berwisata pada hari ini, apalagi bagi yang bermobil. Oh ya bagi yang belum tahu, Bukit Ratapan Angin ini adalah kawasan bukit di mana kalian bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari ketinggian. Ciamik lah pokoknya. Yang pasti siapin tenaga aja untuk mencapai atas, emm tapi gak terlalu tinggi juga sih. Sekitar waktu duhur kami memutuskan pulang ke homestay untuk checkout.
Macet di perjalanan ke Bukit Ratapan Angin
Foto bersama Popo, si burung hantu
Berusaha tegar, padahal kaki ndredheg :"
Sekitar pukul 13.30 kami pun berpamitan dengan Bu Tatik dan berjalan kaki ke jalan raya untuk mencegat mikrobus yang akan mengantarkan kami kembali ke Wonosobo. Untunglah tidak lama kami mendapatkan mikrobus dan kami akhirnya sampai di Wonosobo sekitar pukul 15.00. Kali ini kami memutuskan untuk turun di kawasan alun-alun karena kami sudah janjian dengan shuttle yang sama dengan yang mengantarkan kami dari Semarang kemarin (sebelumnya kami telah meminta kontak pak sopir shuttle untuk menjemput kembali hari ini). Ternyata drama terjadi lagi. Shuttle yang rencananya kami tumpangi mogok di suatu tempat dan kami jadi dioper-oper ke shuttle lain entah berapa kali. Ketakutan pun mulai melanda, jangan-jangan kami tidak bisa pulang hari ini, mengingat hari yang sudah semakin sore dan sudah terlambat untuk kami mencari bus di terminal. Tapi untunglah akhirnya kami berhasil mendapatkan kendaraan juga, mobil pribadi malah. Jadi alhamdulillah semobil hanya diisi kami berenam plus sopir, tanpa ada penumpang lain. Tarif tetap sama seperti shuttle dari Semarang kemarin, yaitu Rp60.000,00 per orang. Sembari menunggu mobil jemputan kami pun makan dulu di foodcourt daerah situ. Mobil tiba di alun-alun Wonosobo sekitar pukul 17.00 dan kami akhirnya tiba di Sukun kembali sekitar pukul 21.00. Usai mengambil motor, kami pun memisahkan diri di sini menuju kediaman masing-masing. Alhamdulillaah~
Foto bersama Bu Tatik
Ohya gaes, bagi yang mau lihat video perjalanan kami bisa cek di channel youtubenya Kak Ranz :

Selasa, 02 Mei 2017

Rentetan Drama di Tour de Pangandaran 8 (Part 3)


Minggu, 23 April 2017
Jalan-jalan time! Seperti biasanya alarm spongebob-ku membangunkanku jam 4 pagi. Dengan masih setengah sadar aku pun turun dari kasur dan segera mematikannya. Lalu? Molor lagi wkwk. Masih ngantuk cuy. Aku baru benar-benar setelah dibangunkan Tami sekitar pukul 05.00 pagi. Singkat cerita kami semua telah siap pergi berburu sunrise ke Pantai Timur Pangandaran jam 05.30. Eh, enggak semua ding. Si Avit yang masih ngantuk memutuskan lebih memilih molor lagi. Baiklaah.

Di perjalanan menuju ke Pantai Timur kami disapa oleh salah satu pesepeda lain bernama Om Ayung Liem. Beliau pun berbaik hati menemani dan menyarankan spot untuk menikmati sunrise. Setelah sampai beliau langsung pamit karena ternyata ada janjian dengan teman lain. Ah, untunglah kami masih sempat melihat sunrise meski tak lama kemudian tertutup mendung lagi, hihi. Puas melihat sunrise dan aktivitas para nelayan sedang menarik jala (yang puanjang banget sampai bosen nungguinnya :p), kami berlima segera lanjut ke destinasi berikutnya yaitu Cagar Alam Pangandaran.
Sunrise di Pangandaran
Nelayan lagi menarik jala. Entah seberapa panjang itu jalanya :p
Tiket masuk ke Cagar Alam Pangandaran ini adalah sebesar Rp20.000,00 di hari libur. Selain ada hutan dengan berbagai faunanya dan berbagai gua yang aku sudah lupa namanya, di sini terdapat juga Pantai Pasir Putih yang cantik. Pantai Pasir Putih ini ternyata juga bisa diakses menggunakan perahu nelayan selain melalui cagar alam. Ah ya, kebetulan waktu berfoto di sini belum ada tamu lain yang datang sehingga malah berasa pantai privat :D
Salah satu sudut pantai
Pantai Pasir Putih
Like a private beach. Cool B)
Ada guanya juga
Katanya kalau cuci muka disini bisa awet muda, hmmm
Puas berkeliling, kami pun segera kembali ke hotel sekitar jam 9.00 mengingat masih ada satu personil yang tertinggal. Eladalah jebul si Avit masih molor aja ckck. Setelah mandi dan berkemas, kami segera check out dari hotel sekitar pukul 11.00 untuk kemudian main sebentar ke Pantai Barat Pangandaran sebelum pulang. Di sini lagi-lagi kami bertemu pesepeda lain yakni rombongan dari Batam dan juga para pentolan Bike2Work. Usai dari sana, kami memutuskan untuk makan siang di warung nasi goreng di sekitaran situ. Sewaktu makan tiba-tiba panitia yang mengurusi hotel kami mengechat Kak Ranz dan Miss Nana untuk memprotes kenapa kami malah check in di kamar AC dan menagih kekurangan biayanya. Lah gimana sih?? Kami kan kemarin udah nurut si pengantar bahwa kamar kami adalah nomor 20 dan 27. Kami juga udah berusaha mau tukar kamar tapi gak bisa gara-gara full booked. Kami juga udah bilang mau ngancel yang nomor 27 tapi katanya gak bisa. Dan waktu kami tanya sama panitia tersebut berapa kekurangan biaya kamarnya katanya sama. So???? Duh hal ini membuat kita langsung bete seketika itu juga. Drama lagi, drama lagi…
Bersiap check out
bersama om2 rempong B2W :p
Pelor Girls :D
Dengan masih uring-uringan kami pun segera menuju terminal untuk mencari Bus Budiman yang mengantarkan kami ke Tasikmalaya. Tarif bus yang kami dapatkan adalah sebesar Rp 80.000,00 dengan rincian 40.000 untuk tiket penumpang dan 40.000 lagi untuk tiket sepeda. Segera setelah kami naik semua, bus pun mulai melaju. Hujan deras mengguyur ketika bus mulai memasuki Kota Tasikmalaya. Ah, rencana kami untuk keliling Kota Tasik pun sirna sudah :( Pak kondektur bus yang baik hati pun menawari kami untuk turun di depan stasiun daripada di alun-alun sebagaimana rencana awal kami, tapi dengan syarat kami ikut dulu sampai bus selesai mutar dulu karena sebenarnya bus tidak melewati stasiun. Kami pun mengiyakan karena mengingat rempongnya meng-unfold sepeda di tengah hujan deras. Akhirnya kami tiba di stasiun sekitar pukul 17.30. Alhamdulillah bus benar-benar berhenti di depan stasiun sehingga kami hanya kehujanan sedikit ketika kami menggotong sepeda dan bawaan kami masuk ke stasiun. Terima kasih Pak Kondektur dan Pak Sopir :)
Sepeda dalam bus
Udara yang dingin membuat kami semua mulai kelaparan. Kami dibuat kebingungan lagi karena warung-warung makan di dekat stasiun sudah tutup semua. Malas juga untuk pergi jauh karena harus meng-unfold sepeda. Di tengah kegalauan yang melanda terdengarlah suara ‘tek.. tek.. tek.. tek..’ penyelamat jiwa raga. Penjual nasi goreng lewat! Dengan suka cita kami pun segera memanggil penjual nasi goreng tersebut dan menikmati makan malam di warung kelontong depan stasiun yang ternyata milik orang Surabaya. Bertemu dengan sesama orang jawa di tanah sunda membuat kami sedikit bahagia di tengah ke’roaming’an kami dengan bahasa sunda yang terjadi beberapa hari ini hihihi.
Nggembel di depan stasiun
Sekitar pukul 20.00 kami segera boarding ke dalam peron stasiun untuk menunggu Kereta Kahuripan yang akan mengantarkan kami ke Solo. Pukul 21.00 kereta pun datang dan dengan dibantu porter bersama staff CS kami menaikkan sepeda kami di gerbong. Fyuh, kini kami berenam harus rela duduk terpisah meski masih satu gerbong karena kereta benar-benar full. Sekitar pukul 04.00 pagi kami akhirnya tiba di Stasiun Purwosari Solo. Kami lagi-lagi harus unfold sepeda karena masih harus menuju ke Stasiun Balapan untuk menaiki Kereta Kalijaga jurusan Semarang-Solo. Ya, gara-gara kebijakan baru KAI yang tidak meneruskan rute KA Kalijaga ke Purwosari lagi kami harus rempong seperti ini. 
Gowes pagi buta dari Purwosari ke Balapan
Naik kereta kalijaga. Akhirnya balik Semarang!
Setelah melewati jalanan yang masih sepi (iyalah lha wong masih pagi buta), kami akhirnya tiba di Stasiun Balapan. Di sini aku, Tami, Avit, Mbak Hesti, dan Miss Nana berpisah dengan Kak Ranz yang notabene memang orang Solo. Kereta Kalijaga mulai meninggalkan Stasiun Purwosari pukul 05.20 dan singkat cerita kami tiba kembali di Stasiun Poncol Semarang pukul 08.15. Akhirnya tiba ke Semarang lagi dan ini (semoga) menjadi akhir dari drama berkepanjangan kami :’)

Mau kemana lagi ya? :D


(The End)
.
.
.
Part 1 : klik di sini
Part 2 : klik di sini