بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Ujian Nasional, atau sering
disingkat sebagai UN, sedang hangat-hangatnya diperdebatkan di dunia pendidikan
Indonesia tercinta ini. Memang sejak diberlakukannya UN ini sering terjadi pro
dan kontra di kalangan masyarakat menyangkut apakah sistem ini cocok untuk
diberlakukan di Indonesia. Apalagi mengingat pelaksanaan UN 2013 yang
lalu terkesan amburadul dan gagal total. Dimulai dari keterlambatan proses
pencetakan soal UN yang terlambat sehingga menyebabkan pelaksanaan UN di
beberapa daerah tertunda, soal-soal yang tertukar, kualitas kertas LJK yang
jelek dan mudah rusak, hingga terjadinya praktek menyontek saat ujian di
mana-mana.
Masalah yang disebutkan terakhir
tadi memang sudah terjadi cukup lama. Walaupun paket soal sudah dibuat
sedemikian rupa, yaitu dengan 20 paket yang berbeda satu sama lain tiap ruang
ujian, praktek kecurangan masih tetap saja terjadi dan merambak dimana-mana.
Hal tersebut tidak lepas dari pandangan murid-murid bahwa UN itu adalah momok
yang mengerikan sehingga mereka menghalalkan segala cara agar bisa lulus dari
Ujian Nasional. Diperparah lagi untuk meluluskan para siswanya 100%, tak
sedikit dari para guru dan pihak sekolah membagikan kunci jawaban UN dan
membiarkan praktek menyontek ini terjadi. Bahkan kepala dinas pendidikan dan
para pemimpin di banyak daerah pun disinyalir turut berperan dalam praktek
haram ini agar para siswa di daerah yang dia pimpin bisa lulus semua supaya
nama daerahnya tidak tercoreng.
Menyangkut masalah apakah UN ini
masih pantas untuk diselenggarakan di Indonesia, ada pihak yang pro dan ada
juga yang kontra. Dari kalangan pro berpendapat bahwa UN memang harus
dilaksanakan agar terjadinya standarisasi pendidikan secara nasional. Dengan
adanya UN ini diharapkan dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dalam sistem
pendidikan di Indonesia agar dapat diperbaiki ke depannya. UN seyogyanya bukanlah
sesuatu hal yang perlu ditakuti, tetapi sebaliknya harus dijadikan semangat
agar terpacu belajar lebih giat lagi.
Jika ada pihak yang pro, maka ada
pula yang kontra. Kalangan yang kontra ini berpendapat bahwa dengan konsep UN
saat ini maka pendidikan hanya berpusat pada hasil, bukan proses.
Sekolah-sekolah hanya akan mencetak generasi manja dan generasi “jalan pintas”.
Selain itu, UN dipandang hanya pemboroson uang negara saja. Untuk
penyelenggaraan UN tahun ini saja menghabiskan anggaran negara sekitar Rp 600
milyar. Dengan anggaran sebanyak itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki
sekolah yang rusak, laboratorium sekolah, perpustakaan sekolah, untuk pelatihan
guru, serta pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Menurut saya, proses pendidikan
tidak mungkin terlepas dari adanya ujian untuk mengevaluasi kemampuan peserta
didik. Tetapi harus ada perubahan dalam sistem Ujian Nasional agar tujuan
semula dari UN ini, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
terwujud. Bukannya meningkatkan kualitas pendidikan, kenyataan yang ada
sekarang UN malah menjadikan peserta didik
menjadi tertekan dan mempunyai mentalitas yang rendah. Dan yang perlu
ditekankan adalah bahwa tidak ada manusia yang bodoh, tetapi hanya kemampuan
mereka yang berbeda-beda. Diperlukan juga sistem di mana bisa merangkul semua
kemampuan tersebut.
Ujian Nasional itu memang penting,
tapi alangkah baiknya jika dibarengi dengan peningkatan kualitas dan
profesionalitas guru. Memaksimalkan kelulusan memang penting, tapi lebih
penting lagi jika dibarengi dengan semangat kejujuran. Janganlah menjadikan UN
ini menjadi pencetak para koruptor-koruptor kecil di Indonesia. Semoga
pendidikan di Indonesia dapat lebih baik lagi ke depannya. Merdeka!