Jumat, 31 Mei 2013

Kontroversi UN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم 
Ujian Nasional, atau sering disingkat sebagai UN, sedang hangat-hangatnya diperdebatkan di dunia pendidikan Indonesia tercinta ini. Memang sejak diberlakukannya UN ini sering terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat menyangkut apakah sistem ini cocok untuk diberlakukan di Indonesia.  Apalagi mengingat pelaksanaan UN 2013 yang lalu terkesan amburadul dan gagal total. Dimulai dari keterlambatan proses pencetakan soal UN yang terlambat sehingga menyebabkan pelaksanaan UN di beberapa daerah tertunda, soal-soal yang tertukar, kualitas kertas LJK yang jelek dan mudah rusak, hingga terjadinya praktek menyontek saat ujian di mana-mana.

Masalah yang disebutkan terakhir tadi memang sudah terjadi cukup lama. Walaupun paket soal sudah dibuat sedemikian rupa, yaitu dengan 20 paket yang berbeda satu sama lain tiap ruang ujian, praktek kecurangan masih tetap saja terjadi dan merambak dimana-mana. Hal tersebut tidak lepas dari pandangan murid-murid bahwa UN itu adalah momok yang mengerikan sehingga mereka menghalalkan segala cara agar bisa lulus dari Ujian Nasional. Diperparah lagi untuk meluluskan para siswanya 100%, tak sedikit dari para guru dan pihak sekolah membagikan kunci jawaban UN dan membiarkan praktek menyontek ini terjadi. Bahkan kepala dinas pendidikan dan para pemimpin di banyak daerah pun disinyalir turut berperan dalam praktek haram ini agar para siswa di daerah yang dia pimpin bisa lulus semua supaya nama daerahnya tidak tercoreng.

Menyangkut masalah apakah UN ini masih pantas untuk diselenggarakan di Indonesia, ada pihak yang pro dan ada juga yang kontra. Dari kalangan pro berpendapat bahwa UN memang harus dilaksanakan agar terjadinya standarisasi pendidikan secara nasional. Dengan adanya UN ini diharapkan dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia agar dapat diperbaiki ke depannya. UN seyogyanya bukanlah sesuatu hal yang perlu ditakuti, tetapi sebaliknya harus dijadikan semangat agar terpacu belajar lebih giat lagi.

Jika ada pihak yang pro, maka ada pula yang kontra. Kalangan yang kontra ini berpendapat bahwa dengan konsep UN saat ini maka pendidikan hanya berpusat pada hasil, bukan proses. Sekolah-sekolah hanya akan mencetak generasi manja dan generasi “jalan pintas”. Selain itu, UN dipandang hanya pemboroson uang negara saja. Untuk penyelenggaraan UN tahun ini saja menghabiskan anggaran negara sekitar Rp 600 milyar. Dengan anggaran sebanyak itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki sekolah yang rusak, laboratorium sekolah, perpustakaan sekolah, untuk pelatihan guru, serta pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Menurut saya, proses pendidikan tidak mungkin terlepas dari adanya ujian untuk mengevaluasi kemampuan peserta didik. Tetapi harus ada perubahan dalam sistem Ujian Nasional agar tujuan semula dari UN ini, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terwujud. Bukannya meningkatkan kualitas pendidikan, kenyataan yang ada sekarang UN malah menjadikan peserta didik  menjadi tertekan dan mempunyai mentalitas yang rendah. Dan yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak ada manusia yang bodoh, tetapi hanya kemampuan mereka yang berbeda-beda. Diperlukan juga sistem di mana bisa merangkul semua kemampuan tersebut.

Ujian Nasional itu memang penting, tapi alangkah baiknya jika dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalitas guru. Memaksimalkan kelulusan memang penting, tapi lebih penting lagi jika dibarengi dengan semangat kejujuran. Janganlah menjadikan UN ini menjadi pencetak para koruptor-koruptor kecil di Indonesia. Semoga pendidikan di Indonesia dapat lebih baik lagi ke depannya. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar