Seminggu yang lalu, tanggal 23-24 Agustus 2014, aku berkesempatan mengunjungi Magelang. Tujuan utamaku ke sana yaitu menonton Festival Lima Gunung yang tahun ini diselenggarakan di Dusun Warangan, Desa Muneng, Kecamatan Pakis yang berada di kaki Gunung Merbabu. Bagi yang belum tahu, Festival Lima Gunung adalah festival yang setiap tahun diadakan oleh Komunitas Lima Gunung, suatu paguyuban komunitas-komunitas kesenian di Magelang, sebagai ajang untuk menampilkan berbagai kesenian rakyat seperti tari-tarian dan lukisan. Makna dari lima gunung itu sendiri merujuk pada lima buah gunung yang terdapat di Kabupaten Magelang yaitu Gunung Merbabu, Merapi, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Aku ke sana bersama 3 orang temanku yaitu Mbak Putri, Mbak Tata, dan Mbak Etha. Mbak Tata dan Mbak Etha berangkat ke Magelang tanggal 23 Agustus pagi, sedangkan aku dan Mbak Putri menyusul sore harinya sekitar pukul 15.30 sore. Terima kasih aku ucapkan pada sang pencipta Google Maps yang telah berhasil menciptakan teknologi yang menolongku sebagai navigator ke tempat acara karena notabene aku dan Mbak Putri sama sekali awam tentang daerah situ. Setelah melewati jalanan yang gelap gulita sekian lama (ini mengingatkanku saat dulu pergi ke Blora, tapi untungnya jalanannya gak separah di Blora), aku dan Mbak Putri berhasil menemukan tempat jalannya festival sekitar jam 19.00 dan selanjutnya bergabung bersama Mbak Tata dan Mbak Etha yang sudah tiba duluan di lokasi. Fyi, ternyata semua rumah di kampung tersebut terbuka lebar untuk para tamu yang ingin beristirahat maupun menginap selama berjalannya festival.
Setelah beristirahat sejenak dan makan malam di rumah salah satu warga di sana, kami pun beranjak untuk melihat-lihat festival. Pertama-tama kami melihat pameran lukisan dan topeng di salah satu sudut jalan. Dan entah kenapa aku merasa tertarik pada salah satu lukisan di sana yang melukiskan seorang kyai berbaju putih dan seorang pemuda berwarna abu-abu yang saling berpunggungan. Entah apa maksud dari lukisan tersebut, tapi suka saja melihatnya.
Selanjutnya kami pun segera menuju ke panggung terbuka tempat menampilkan berbagai tarian yang berasal dari berbagi sanggar maupun komunitas seni. Jadi, memang setiap kelompok seni boleh mendaftar untuk mengisi acara di festival lima gunung ini dengan syarat harus mau menanggung sendiri segala akomodasinya karena panitia tidak menyediakannya. Kenapa? Karena ternyata dalam penyelenggaraan festival ini para panitia tidak mau disponsori oleh pihak luar sehingga festival ini murni berasal dari kerja keras para panitia. Hal ini memang sengaja dilakukan agar membuka mata dunia bahwa pagelaran seni tidak melulu berurusan dengan uang. Tanpa mengajukan proposal apapun kepada siapapun mereka tetap bisa rutin menyelenggarakan festival ini dengan bagus. Salut.
Berbagai hal unik terjadi saat pementasan tari berlangsung. Salah satunya adalah ketika saat pertunjukan tari topeng sekumpulan penari wanita telah berbaring di tanah menunggu musik mengalun. Keanehan terasa saat mbak-mbak tersebut sudah berbaring lama tetapi musik masih belum juga mulai sampai ada nenek-nenek yang berdiri di belakangku nyeletuk "loh eh mbak malah podo turunan, orak katisen?" wkwkwk lucu lucu. Ternyata eh ternyata peralatan soundnya bermasalah para permirsa, sehingga dengan agak dongkol mbak-mbak tersebut kembali ke belakang panggung sambil menunggu sound dibetulkan. Setelah MC berbasa-basi sebentar sound pun kembali normal dan pertunjukan tari topeng yang tadi sempat tertunda dimulai kembali. Kejutan pun kembali terjadi saat seorang penari laki-laki di tari topeng tersebut menghampiri tempat dudukku yang memang sedang ndeprok di depan sendiri dan kemudian mas tersebut dengan anteng menunggu gilirannya tampil kembali di samping tempatku duduk dengan masih berposisi menari. Niat jahilku pun timbul. Dengan setengah berbisik aku mengobrol dengan Mbak Tata menggosipkan mas penari tersebut yang aku tahu pasti masnya masih bisa mendengar. Tidak cukup sampai disitu, aku pun memanfaatkan momen langka tersebut dengan ber-selfie ria, hihi. Sampai sekarang aku masih penasaran dengan wajah yang ada di balik topeng tersebut. Apakah masnya marah sama aku ya sudah aku ganggu? Soalnya entah sengaja atau tidak saat masnya melangkah ingin ke tengah panggung kembali kakiku disampar sama masnya, haha.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 21.00 kami pun beranjak pulang ke rumah nenek Mbak Tata yang memang tinggal di Magelang agar tidak kemalaman. Sebenarnya kami ditawari untuk menginap saja di rumah warga tempat kami makan malam tadi, tapi kami terpaksa menolaknya karena nenek Mbak Tata sudah memasak buat kami ({}). Sesampainya di rumah nenek Mbak Tata kami pun makan malam dan pergi tidur untuk mengumpulkan tenaga demi jalan-jalan esok harinya.
Hari II, 24 Agustus 2014
Berdasarkan kesepakatan kami kemarin malam sebelum tidur, kami memutuskan untuk tidak jadi kembali menyaksikan festival lima gunung pada hari ini karena mempertimbangkan festival baru kembali berlangsung jam 13.00 sedangkan estimasi kami pulang ke Semarang adalah pukul 14.00. Sebagai gantinya kami pun pergi ke Candi Selogriyo yang berada tidak jauh dari rumah nenek Mbak Tata.
Tidak jauh memang, tapi medan kesananya sungguh "wow". Setelah melewati loket karcis masuk ke candi, kami disuguhi jalanan setapak yang sempit yang hanya muat dilewati satu motor saja. Tergelincir sedikit saja alamat kami harus masuk ke jurang di samping yang telah menjadi areal persawahan. Tidak terlalu dalam memang, tetapi cukup bisa membuat ngeri. Tetapi hal ini sungguh terobati dengan pemandangan yang terpampang di sepanjang perjalanan. Lautan hijau persawahan dan perbukitan yang indah menemani perjalanan kami sampai rasa-rasanya aku terhipnotis akan keindahan alam yang terpampang di depan mataku.
Sesampainya di kompleks Candi Selogriyo, kami pun segera berkeliling untuk mengamati satu-satunya bangunan candi yang ada di sana. Mbak Etha, yang notabene merupakan lulusan ilmu sejarah, dengan senang hati menjelaskan kepada kami berbagai makna yang terkandung dalam bangunan candi tersebut. Lumayan tour guide gratis, hehehe. Tak lama saat kami masih rehat di rerumputan kami melihat ada sepasang bule yang datang. Mbak Tata dengan semangat '45 pun mengajak kami untuk menghampiri pasangan bule tersebut untuk berbincang-bincang. Dari obrolan mereka, fyi aku gak ikutan ngobrol dan hanya menjadi pendengar setia (englishku masih berantakan -_-), aku mendapatkan info bahwa mereka berasal dari sebuah kota kecil di dekat Barcelona, Spanyol yang tepatnya aku lupa nama kotanya. Mereka dengan ramah bercerita ke kami tentang tempat-tempat apa saja yang telah mereka kunjungi di Indonesia, kesan-kesan mereka tinggal di Indonesia, dan juga bercerita bagaimana keadaan kota tempat mereka tinggal di Spanyol. Perbincangan kami tak berlangsung lama karena mereka harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Tak berapa lama setelah mereka pamit, kami pun juga bergegas pulang ke rumah nenek Mbak Tata untuk bersiap-siap pulang ke Semarang.
Sebelum kembali ke Semarang kami pun menyempatkan diri berkunjung ke Syang Art Space, semacam galeri lukisan, karena Mbak Tata ngebet banget pingin ke sana hehe. Setelah puas melihat-lihat lukisan di sana kami pun makan bakso kerikil di Taman Badakan. Seperti namanya, bakso kerikil itu ukurannya kecil-kecil seperti kerikil tapi jumlahnya banyak semangkuk, apalagi kalau belinya kosongan. Perut kenyang, hati pun riang. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke kota kami tercinta, Semarang.
Bye, Magelang ^^
Aku ke sana bersama 3 orang temanku yaitu Mbak Putri, Mbak Tata, dan Mbak Etha. Mbak Tata dan Mbak Etha berangkat ke Magelang tanggal 23 Agustus pagi, sedangkan aku dan Mbak Putri menyusul sore harinya sekitar pukul 15.30 sore. Terima kasih aku ucapkan pada sang pencipta Google Maps yang telah berhasil menciptakan teknologi yang menolongku sebagai navigator ke tempat acara karena notabene aku dan Mbak Putri sama sekali awam tentang daerah situ. Setelah melewati jalanan yang gelap gulita sekian lama (ini mengingatkanku saat dulu pergi ke Blora, tapi untungnya jalanannya gak separah di Blora), aku dan Mbak Putri berhasil menemukan tempat jalannya festival sekitar jam 19.00 dan selanjutnya bergabung bersama Mbak Tata dan Mbak Etha yang sudah tiba duluan di lokasi. Fyi, ternyata semua rumah di kampung tersebut terbuka lebar untuk para tamu yang ingin beristirahat maupun menginap selama berjalannya festival.
Setelah beristirahat sejenak dan makan malam di rumah salah satu warga di sana, kami pun beranjak untuk melihat-lihat festival. Pertama-tama kami melihat pameran lukisan dan topeng di salah satu sudut jalan. Dan entah kenapa aku merasa tertarik pada salah satu lukisan di sana yang melukiskan seorang kyai berbaju putih dan seorang pemuda berwarna abu-abu yang saling berpunggungan. Entah apa maksud dari lukisan tersebut, tapi suka saja melihatnya.
Lukisan sang kyai putih dan pemuda abu-abu |
Berbagai hal unik terjadi saat pementasan tari berlangsung. Salah satunya adalah ketika saat pertunjukan tari topeng sekumpulan penari wanita telah berbaring di tanah menunggu musik mengalun. Keanehan terasa saat mbak-mbak tersebut sudah berbaring lama tetapi musik masih belum juga mulai sampai ada nenek-nenek yang berdiri di belakangku nyeletuk "loh eh mbak malah podo turunan, orak katisen?" wkwkwk lucu lucu. Ternyata eh ternyata peralatan soundnya bermasalah para permirsa, sehingga dengan agak dongkol mbak-mbak tersebut kembali ke belakang panggung sambil menunggu sound dibetulkan. Setelah MC berbasa-basi sebentar sound pun kembali normal dan pertunjukan tari topeng yang tadi sempat tertunda dimulai kembali. Kejutan pun kembali terjadi saat seorang penari laki-laki di tari topeng tersebut menghampiri tempat dudukku yang memang sedang ndeprok di depan sendiri dan kemudian mas tersebut dengan anteng menunggu gilirannya tampil kembali di samping tempatku duduk dengan masih berposisi menari. Niat jahilku pun timbul. Dengan setengah berbisik aku mengobrol dengan Mbak Tata menggosipkan mas penari tersebut yang aku tahu pasti masnya masih bisa mendengar. Tidak cukup sampai disitu, aku pun memanfaatkan momen langka tersebut dengan ber-selfie ria, hihi. Sampai sekarang aku masih penasaran dengan wajah yang ada di balik topeng tersebut. Apakah masnya marah sama aku ya sudah aku ganggu? Soalnya entah sengaja atau tidak saat masnya melangkah ingin ke tengah panggung kembali kakiku disampar sama masnya, haha.
Mbak penari cukup lama terbaring di tanah seperti itu |
Selfie sama mas penari dulu |
Saat jam sudah menunjukkan pukul 21.00 kami pun beranjak pulang ke rumah nenek Mbak Tata yang memang tinggal di Magelang agar tidak kemalaman. Sebenarnya kami ditawari untuk menginap saja di rumah warga tempat kami makan malam tadi, tapi kami terpaksa menolaknya karena nenek Mbak Tata sudah memasak buat kami ({}). Sesampainya di rumah nenek Mbak Tata kami pun makan malam dan pergi tidur untuk mengumpulkan tenaga demi jalan-jalan esok harinya.
Hari II, 24 Agustus 2014
Berdasarkan kesepakatan kami kemarin malam sebelum tidur, kami memutuskan untuk tidak jadi kembali menyaksikan festival lima gunung pada hari ini karena mempertimbangkan festival baru kembali berlangsung jam 13.00 sedangkan estimasi kami pulang ke Semarang adalah pukul 14.00. Sebagai gantinya kami pun pergi ke Candi Selogriyo yang berada tidak jauh dari rumah nenek Mbak Tata.
Tidak jauh memang, tapi medan kesananya sungguh "wow". Setelah melewati loket karcis masuk ke candi, kami disuguhi jalanan setapak yang sempit yang hanya muat dilewati satu motor saja. Tergelincir sedikit saja alamat kami harus masuk ke jurang di samping yang telah menjadi areal persawahan. Tidak terlalu dalam memang, tetapi cukup bisa membuat ngeri. Tetapi hal ini sungguh terobati dengan pemandangan yang terpampang di sepanjang perjalanan. Lautan hijau persawahan dan perbukitan yang indah menemani perjalanan kami sampai rasa-rasanya aku terhipnotis akan keindahan alam yang terpampang di depan mataku.
Sesampainya di kompleks Candi Selogriyo, kami pun segera berkeliling untuk mengamati satu-satunya bangunan candi yang ada di sana. Mbak Etha, yang notabene merupakan lulusan ilmu sejarah, dengan senang hati menjelaskan kepada kami berbagai makna yang terkandung dalam bangunan candi tersebut. Lumayan tour guide gratis, hehehe. Tak lama saat kami masih rehat di rerumputan kami melihat ada sepasang bule yang datang. Mbak Tata dengan semangat '45 pun mengajak kami untuk menghampiri pasangan bule tersebut untuk berbincang-bincang. Dari obrolan mereka, fyi aku gak ikutan ngobrol dan hanya menjadi pendengar setia (englishku masih berantakan -_-), aku mendapatkan info bahwa mereka berasal dari sebuah kota kecil di dekat Barcelona, Spanyol yang tepatnya aku lupa nama kotanya. Mereka dengan ramah bercerita ke kami tentang tempat-tempat apa saja yang telah mereka kunjungi di Indonesia, kesan-kesan mereka tinggal di Indonesia, dan juga bercerita bagaimana keadaan kota tempat mereka tinggal di Spanyol. Perbincangan kami tak berlangsung lama karena mereka harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Tak berapa lama setelah mereka pamit, kami pun juga bergegas pulang ke rumah nenek Mbak Tata untuk bersiap-siap pulang ke Semarang.
Sebelum kembali ke Semarang kami pun menyempatkan diri berkunjung ke Syang Art Space, semacam galeri lukisan, karena Mbak Tata ngebet banget pingin ke sana hehe. Setelah puas melihat-lihat lukisan di sana kami pun makan bakso kerikil di Taman Badakan. Seperti namanya, bakso kerikil itu ukurannya kecil-kecil seperti kerikil tapi jumlahnya banyak semangkuk, apalagi kalau belinya kosongan. Perut kenyang, hati pun riang. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke kota kami tercinta, Semarang.
Bye, Magelang ^^
Narsis bersama bule di pelataran Candi Selogriyo |
Di depan Syang Art Space |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar